Tuesday, June 19, 2007

Semoga Bermanfaat

Pengantar dari miyoeL:
Artikel berikut, merupakan copy-paste dari sebuah ”artikel online” yang secara tidak sengaja ditemukan penulis. Menurut keterangan yang termuat didalam artikel tersebut, artikel ini telah diterbitkan di majalah ”Amanah” No. 45 Thn. XVII, Desember 2003. Pemuatan artikel ini disini, diharapkan menjadi pengingat bagi penulis dan sidang pembaca akan adanya ”rambu-rambu” hukum dalam kehidupan kita. Semoga bermanfaat!

Pernikahan Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale Menurut Hukum Islam dan Undang Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974*
Penulis: Chamzawi; Tanggal Publikasi: 15/01/2004

Pendahuluan

Dalam acara infotainment E..Ko Ngegosip beberapa waktu lalu, sebelum muncul pemberitaan ramai di mass media tentang pernikahan Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale (Nia-Ale), terjadi percakapan langsung antara Eko dan salah seorang koresponden (wanita) di Timika Papua, bagaimana bahagianya orang Timika menyaksikan salah satu warganya (Ari Sihasale) menikahi Nia Zulkarnaen, bintang tenar dari Jakarta. Yang membuat mereka semakin bahagia adalah bahwa Nia dinyatakan telah pindah agama, dari Islam ke Katholik. Tentu saja percakapan dalam infotainment tersebut mengejutkan jutaan pemirsa Indonesia, yang notabene sebagian besar memeluk Agama Islam.

Keterkejutan tersebut dilandasi, pertama: Nia adalah seorang Muslimah yang taat (telah sering terlihat menggunakan jilbab), kedua: Nia belum lama ditinggalkan oleh suaminya (alm) Alexander David Achmad Iskandar, yang semula beragama Kristen, ketiga: Nia adalah anak seorang bintang terkenal dan aktivis sebuah partai berlandaskan Islam, Hj. Mieke Widjaja.

Pada kenyataannya, berita yang dapat dilansir kebenarannya adalah bahwa Nia-Ale telah menikah secara ‘resmi’ di Perth Australia tanggal 25 September 2003 yang lalu, bukan di gereja, apalagi di Masjid atau secara Islam. Dalam wawancara dengan beberapa mass media pada acara resepsi pernikahan di suatu Hotel Sheraton Timika, Rabu 8 Oktober 2003, Nia memberikan statemen, bahwa untuk ‘menghormati’ suaminya, pada hari Minggu, 5 Oktober 2003 pukul 09.00 WIT, dia mengikuti kebaktian di Gereja Betlehem Kuala Kencana. Nia mengaku ‘tetap Islam’ dan suaminya Ale tetap Katholik.

Tentu saja, pernikahan Nia-Ale, dan langkah Nia yang “nekat” itu, menimbulkan tanda tanya besar bagi kalangan Islam, khususnya para Muslimah, bagaimana Nia segampang itu menterjemahkan ajaran agama (Islam)? Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana hukum Islam menyikapi pernikahan antara seorang muslimah dengan lelaki musyrik ?

Dasar Perkawinan

Sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam agama Islam, adalah sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Juga firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ ayat 1 “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kami dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..”.

Hukum Perkawinan dalam Islam

Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.

Syarat dan Rukun Perkawinan

Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah (1) persetujuan kedua belah pihak, (2) mahar (mas kawin), (3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah (1) calon suami, (2) calon isteri, (3) wali, (4) saksi dan (5) ijab kabul.

Yang dimaksud dengan syarat yang ke-3 ‘tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan’ adalah:
a. Larangan karena perbedaan agama. Larangan ini ditujukan, baik kepada laki-laki muslim atau wanita muslimah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 221 bahwa laki-laki muslim tidak boleh mengawini wanita musyrik sebelum ia beriman, demikian juga laki-laki muslim tidak boleh mengawinkan laki-laki musyrik dengan wanita muslimah sebelum laki-laki musyrik tersebut beriman. Malah ada penekanan bahwa hamba sahaya (budak) yang beriman lebih baik dinikahi daripada laki-laki musyrik.
b. Larangan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik diperkuat dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 10 “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Karena mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.
c. Larangan perkawinan karena hubungan darah
d. Larangan perkawinan karena hubungan perkawinan
e. Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan
f. Larangan perkawinan khusus bagi wanita yaitu larangan poliandri (bersuami lebih dari satu)

Khusus mengenai larangan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik (Al-Baqarah ayat 221), Ash-Shabuni mengatakan bahwa berdasarkan ayat tersebut, haram hukumnya mengawinkan perempuan mu’minah dengan laki-laki musyrik.

Pernyataan yang jelas dan tegas tentang perkawinan antara wanita muslimah dan laki-laki musyrik sebagaimana disebutkan dalam dalil-dalil di atas, didukung oleh Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kasus Nia-Ale

Walaupun Nia Zulkarnaen telah memberikan statemen, bahwa dia sudah menikah secara ‘resmi di Australia’ dan menyatakan ‘tetap Islam’, maka hal yang demikian tidak menghilangkan atau menafikan peran hukum positif yang berlaku di Indonesia (UU No. 1 tahun 1974) dan Hukum Islam yang wajib ditaati oleh bersangkutan.

Menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1, perkawinan Nia-Ale tetap dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Sedangkan menurut hukum Islam, perkawinan tersebut haram hukumnya, dan dengan demikian yang bersangkutan tidak ubahnya melakukan perbuatan ‘zina’. Inilah rambu-rambu yang wajib ditaati oleh Nia.

Dalam hukum Islam, sejak permulaan, wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki musyrik, dan apabila mereka nikah secara Islam pun bila suami murtad dari agama Islam, keduanya wajib diceraikan. Demikian juga bila wanita non-muslim menikah dengan laki-laki non-mulsim, lalu wanita non-muslim tersebut masuk Islam, maka keduanya pun wajib diceraikan. Hal yang demikian telah dilakukan sejak zaman Rasulullah s.a.w., dan tercantum dalam perjanjian ‘Hudaibiyyah’.

Yang perlu pula dicatat dalam kasus ini adalah keteguhan Hj. Mieke Widjaja ketika memberikan statemen di depan para wartawan, bahwa dia tak dapat menghadiri pernikahan maupun resepsi pernikahan Nia-Ale karena “beda prinsip” dan dia sudah berusaha memberikan penjelasan kepada Nia bahwa perkawinan tersebut tak dapat diterima oleh agama dan negara. Ini artinya bahwa Mieke ‘tidak menyetujui’ perkawinan Nia-Ale. Pernyataan Mieke ini sekaligus juga, Insya’Allah, akan meringankan pertanggungjawaban beliau di depan Allah SWT di hari pengadilan nanti.

Penutup

Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk memberikan pencerahan atau taushiyah kepada kita semua ummat Islam, khususnya rekan-rekan selebriti, bahwa perkawinan adalah suatu yang suci, yang wajib tunduk dan taat pada aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT (syarat dan rukun perkawinan). Perkawinan tidak cukup dilandasi dengan ‘rasa cinta’ semata sebagai pengejawantahan ‘hak azazi’ seseorang, namun lebih dari itu, hak azazi rasa cinta tidak dapat dilanjutkan dalam suatu bentuk lembaga perkawinan bila bertentangan dengan ‘koridor hukum’, baik hukum nasional maupun hukum Islam.

Yang perlu diperhatikan adalah walaupun Islam tidak pernah memaksakan manusia di muka bumi ini untuk memeluk Islam, Namun ketika kita sudah berikrar dalam Islam, kita harus istiqomah (konsekuen), harus kaffah, harus tunduk, patuh dan taat, baik kepada perintah Allah SWT, Rasul-Nya maupun pemimpin (pemerintah) yang mempunyai otoritas.

Dengan terjadinya kasus Nia-Ale ini, ummat Islam harus lebih ber-hati-hati, khususnya para orang tua dalam mendidik putra putrinya. Perkawinan tidak cukup dilandasi dengan rasa cinta, harta atau keturunan (trah), Nabi s.a.w., menyatakan bahwa pilihan utama bagi ummat Islam dalam mencari jodoh adalah pada agama (baca: Islam), sedangkan pilihan-pilihan lain yang dianjurkan Nabi s.a.w. adalah kecantikan (kegantengan), kekayaan dan keturunan (nasab/trah).

Bahan Kepustakaan

Islam untuk disiplin Ilmu Hukum (Depag RI 2002)
Yas’alunaka (buku kedua), Dr. Ahmad Asy-Syarbashi (1999)
Himpunan peraturan2 dan per-uu-an di bid. Perkawinan, Djaren Saragih (1980)

*} Telah dimuat pada majalah Amanah No. 45 Thn. XVII, Desember 2003

Wassalam,
miyoeL@180607

Sunday, June 3, 2007

Republik Porno 1


Dua bulan berlalu, sejak hakim PN Jakarta Selatan memvonis Erwin Arnada pemimpin redaksi majalah Playboy dengan putusan bebas. Dakwaan jaksa yang menuduh Erwin melakukan pelanggaran kesusilaan melalui penyiaran foto-foto yang dinilai sebagai pornografi dan menjadikan hal itu sebagai suatu pekerjaan, telah ditolak oleh majelis hakim.

Penolakan majelis hakim terhadap dakwaan jaksa membuat Erwin terbebas dari jeratan pidana dan Pemred Playboy bersyukur atas hal tersebut. "Disini terlihat majelis hakim memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kebebasan pers di Indonesia," kata Erwin yang sebelumnya dituntut pidana dua tahun penjara itu. (KCM 05 April 2007)

Lepas dari polemik yang berkembang mengenai ambiguitas hakim dalam memutus perkara yang menolak delik pidana yang diajukan jaksa bukan delik pers, sementara menggunakan delik pidana pada kasus majalah TEMPO, keputusan telah diambil dan polemik telah mereda. Playboy, menang dan tetap melenggang.

Dengan mudah kita menjumpai peredaran majalah tersebut diperempatan-perempatan jalan yang konon, dinegara aslinya (Amerika Serikat) hanya dijual di counter-counter khusus dewassa. Rasanya pula, tidak sulit bagi anak-anak muda kita mengakses informasi yang terdapat dimajalah Playboy. Setidaknya, kalaupun benar bahwa Playboy Indonesia telah mengalami ”penyesuaian konten dengan norma sosial Indonesia”, image dan nalar yang terbentuk digenerasi muda kita kelak bahwa Playboy bukan barang ”haram”.

Menjadi tidak adil kalau kita hanya menyalahkan Playboy. Benar bahwa banyak majalah sejenis Playboy yang lebih syuur dan vulgar dijajakan ditempat yang sama dengan Playboy. Tapi patut diingat bahwa Playboy telah menjadi ”merek global” dan menjadi salah satu ikon internasional untuk majalah porno (bahasa halusnya ”majalah khusus dewasa”).

Penulis meyakini, proyek semacam Playboy bukanlah proyek jangka pendek. Setidaknya dalam 5-10 tahun kedepan, pandangan masyarakat mengenai ”pornografi dan pornoaksi” akan semakin bergeser kearah yang lebih liberal. Sebagai sebuah ”produk budaya”, Playboy tentu memiliki ”visi dan misi budaya” tertentu. Bila profil pemilik Playboy dapat merepresentasikan ”visi dan misi budaya” yang diusung Playboy, maka patut diduga bahwa ”visi dan misi budaya” yang dibawa majalah Playboy adalah ”visi dan misi budaya” hedonisme sex bebas.

Gambaran itu diperoleh penulis dari sebuah pemberitaan online yang menuliskan bahwa diulang tahunnya yang ke 81, Hugh Hefner sang empunya Playboy, meniduri gadis-gadis Playboy yang notabene bukan istrinya hingga 11 orang! (detikHot, Rabu, 14/03/2007) Diinformasikan pula bahwa Hugh yang telah 2 kali menikah dikabarkan akan menikah untuk ketigakalinya dengan salah satu gadis Playboy-nya yang masih berusia 27 tahun! (detikHot, Rabu, 20/03/2007)

Maka jangan heran kalau dalam 5-10 tahun kedepan kasus-kasus hedonisme sex bebas dalam masyarakat yang selama ini menjadi ”rahasia umum” seperti dituliskan Moammar Emka dalam bukunya ”Jakarta Undercover”, akan mengemuka dan menjadi hal yang biasa dan merata di nusantara. Suatu kerusakan moral yang luarrrrr biasa karena budaya malu pastinya telah menghilang, sepasti matahari terbenam diufuk barat... wallahu a’lam bisshawab!

Wassalam,
miyoeL@010607