Tuesday, June 19, 2007

Semoga Bermanfaat

Pengantar dari miyoeL:
Artikel berikut, merupakan copy-paste dari sebuah ”artikel online” yang secara tidak sengaja ditemukan penulis. Menurut keterangan yang termuat didalam artikel tersebut, artikel ini telah diterbitkan di majalah ”Amanah” No. 45 Thn. XVII, Desember 2003. Pemuatan artikel ini disini, diharapkan menjadi pengingat bagi penulis dan sidang pembaca akan adanya ”rambu-rambu” hukum dalam kehidupan kita. Semoga bermanfaat!

Pernikahan Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale Menurut Hukum Islam dan Undang Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974*
Penulis: Chamzawi; Tanggal Publikasi: 15/01/2004

Pendahuluan

Dalam acara infotainment E..Ko Ngegosip beberapa waktu lalu, sebelum muncul pemberitaan ramai di mass media tentang pernikahan Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale (Nia-Ale), terjadi percakapan langsung antara Eko dan salah seorang koresponden (wanita) di Timika Papua, bagaimana bahagianya orang Timika menyaksikan salah satu warganya (Ari Sihasale) menikahi Nia Zulkarnaen, bintang tenar dari Jakarta. Yang membuat mereka semakin bahagia adalah bahwa Nia dinyatakan telah pindah agama, dari Islam ke Katholik. Tentu saja percakapan dalam infotainment tersebut mengejutkan jutaan pemirsa Indonesia, yang notabene sebagian besar memeluk Agama Islam.

Keterkejutan tersebut dilandasi, pertama: Nia adalah seorang Muslimah yang taat (telah sering terlihat menggunakan jilbab), kedua: Nia belum lama ditinggalkan oleh suaminya (alm) Alexander David Achmad Iskandar, yang semula beragama Kristen, ketiga: Nia adalah anak seorang bintang terkenal dan aktivis sebuah partai berlandaskan Islam, Hj. Mieke Widjaja.

Pada kenyataannya, berita yang dapat dilansir kebenarannya adalah bahwa Nia-Ale telah menikah secara ‘resmi’ di Perth Australia tanggal 25 September 2003 yang lalu, bukan di gereja, apalagi di Masjid atau secara Islam. Dalam wawancara dengan beberapa mass media pada acara resepsi pernikahan di suatu Hotel Sheraton Timika, Rabu 8 Oktober 2003, Nia memberikan statemen, bahwa untuk ‘menghormati’ suaminya, pada hari Minggu, 5 Oktober 2003 pukul 09.00 WIT, dia mengikuti kebaktian di Gereja Betlehem Kuala Kencana. Nia mengaku ‘tetap Islam’ dan suaminya Ale tetap Katholik.

Tentu saja, pernikahan Nia-Ale, dan langkah Nia yang “nekat” itu, menimbulkan tanda tanya besar bagi kalangan Islam, khususnya para Muslimah, bagaimana Nia segampang itu menterjemahkan ajaran agama (Islam)? Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana hukum Islam menyikapi pernikahan antara seorang muslimah dengan lelaki musyrik ?

Dasar Perkawinan

Sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam agama Islam, adalah sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Juga firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ ayat 1 “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kami dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..”.

Hukum Perkawinan dalam Islam

Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.

Syarat dan Rukun Perkawinan

Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah (1) persetujuan kedua belah pihak, (2) mahar (mas kawin), (3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah (1) calon suami, (2) calon isteri, (3) wali, (4) saksi dan (5) ijab kabul.

Yang dimaksud dengan syarat yang ke-3 ‘tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan’ adalah:
a. Larangan karena perbedaan agama. Larangan ini ditujukan, baik kepada laki-laki muslim atau wanita muslimah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 221 bahwa laki-laki muslim tidak boleh mengawini wanita musyrik sebelum ia beriman, demikian juga laki-laki muslim tidak boleh mengawinkan laki-laki musyrik dengan wanita muslimah sebelum laki-laki musyrik tersebut beriman. Malah ada penekanan bahwa hamba sahaya (budak) yang beriman lebih baik dinikahi daripada laki-laki musyrik.
b. Larangan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik diperkuat dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 10 “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Karena mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.
c. Larangan perkawinan karena hubungan darah
d. Larangan perkawinan karena hubungan perkawinan
e. Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan
f. Larangan perkawinan khusus bagi wanita yaitu larangan poliandri (bersuami lebih dari satu)

Khusus mengenai larangan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik (Al-Baqarah ayat 221), Ash-Shabuni mengatakan bahwa berdasarkan ayat tersebut, haram hukumnya mengawinkan perempuan mu’minah dengan laki-laki musyrik.

Pernyataan yang jelas dan tegas tentang perkawinan antara wanita muslimah dan laki-laki musyrik sebagaimana disebutkan dalam dalil-dalil di atas, didukung oleh Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kasus Nia-Ale

Walaupun Nia Zulkarnaen telah memberikan statemen, bahwa dia sudah menikah secara ‘resmi di Australia’ dan menyatakan ‘tetap Islam’, maka hal yang demikian tidak menghilangkan atau menafikan peran hukum positif yang berlaku di Indonesia (UU No. 1 tahun 1974) dan Hukum Islam yang wajib ditaati oleh bersangkutan.

Menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1, perkawinan Nia-Ale tetap dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Sedangkan menurut hukum Islam, perkawinan tersebut haram hukumnya, dan dengan demikian yang bersangkutan tidak ubahnya melakukan perbuatan ‘zina’. Inilah rambu-rambu yang wajib ditaati oleh Nia.

Dalam hukum Islam, sejak permulaan, wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki musyrik, dan apabila mereka nikah secara Islam pun bila suami murtad dari agama Islam, keduanya wajib diceraikan. Demikian juga bila wanita non-muslim menikah dengan laki-laki non-mulsim, lalu wanita non-muslim tersebut masuk Islam, maka keduanya pun wajib diceraikan. Hal yang demikian telah dilakukan sejak zaman Rasulullah s.a.w., dan tercantum dalam perjanjian ‘Hudaibiyyah’.

Yang perlu pula dicatat dalam kasus ini adalah keteguhan Hj. Mieke Widjaja ketika memberikan statemen di depan para wartawan, bahwa dia tak dapat menghadiri pernikahan maupun resepsi pernikahan Nia-Ale karena “beda prinsip” dan dia sudah berusaha memberikan penjelasan kepada Nia bahwa perkawinan tersebut tak dapat diterima oleh agama dan negara. Ini artinya bahwa Mieke ‘tidak menyetujui’ perkawinan Nia-Ale. Pernyataan Mieke ini sekaligus juga, Insya’Allah, akan meringankan pertanggungjawaban beliau di depan Allah SWT di hari pengadilan nanti.

Penutup

Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk memberikan pencerahan atau taushiyah kepada kita semua ummat Islam, khususnya rekan-rekan selebriti, bahwa perkawinan adalah suatu yang suci, yang wajib tunduk dan taat pada aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT (syarat dan rukun perkawinan). Perkawinan tidak cukup dilandasi dengan ‘rasa cinta’ semata sebagai pengejawantahan ‘hak azazi’ seseorang, namun lebih dari itu, hak azazi rasa cinta tidak dapat dilanjutkan dalam suatu bentuk lembaga perkawinan bila bertentangan dengan ‘koridor hukum’, baik hukum nasional maupun hukum Islam.

Yang perlu diperhatikan adalah walaupun Islam tidak pernah memaksakan manusia di muka bumi ini untuk memeluk Islam, Namun ketika kita sudah berikrar dalam Islam, kita harus istiqomah (konsekuen), harus kaffah, harus tunduk, patuh dan taat, baik kepada perintah Allah SWT, Rasul-Nya maupun pemimpin (pemerintah) yang mempunyai otoritas.

Dengan terjadinya kasus Nia-Ale ini, ummat Islam harus lebih ber-hati-hati, khususnya para orang tua dalam mendidik putra putrinya. Perkawinan tidak cukup dilandasi dengan rasa cinta, harta atau keturunan (trah), Nabi s.a.w., menyatakan bahwa pilihan utama bagi ummat Islam dalam mencari jodoh adalah pada agama (baca: Islam), sedangkan pilihan-pilihan lain yang dianjurkan Nabi s.a.w. adalah kecantikan (kegantengan), kekayaan dan keturunan (nasab/trah).

Bahan Kepustakaan

Islam untuk disiplin Ilmu Hukum (Depag RI 2002)
Yas’alunaka (buku kedua), Dr. Ahmad Asy-Syarbashi (1999)
Himpunan peraturan2 dan per-uu-an di bid. Perkawinan, Djaren Saragih (1980)

*} Telah dimuat pada majalah Amanah No. 45 Thn. XVII, Desember 2003

Wassalam,
miyoeL@180607

Sunday, June 3, 2007

Republik Porno 1


Dua bulan berlalu, sejak hakim PN Jakarta Selatan memvonis Erwin Arnada pemimpin redaksi majalah Playboy dengan putusan bebas. Dakwaan jaksa yang menuduh Erwin melakukan pelanggaran kesusilaan melalui penyiaran foto-foto yang dinilai sebagai pornografi dan menjadikan hal itu sebagai suatu pekerjaan, telah ditolak oleh majelis hakim.

Penolakan majelis hakim terhadap dakwaan jaksa membuat Erwin terbebas dari jeratan pidana dan Pemred Playboy bersyukur atas hal tersebut. "Disini terlihat majelis hakim memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kebebasan pers di Indonesia," kata Erwin yang sebelumnya dituntut pidana dua tahun penjara itu. (KCM 05 April 2007)

Lepas dari polemik yang berkembang mengenai ambiguitas hakim dalam memutus perkara yang menolak delik pidana yang diajukan jaksa bukan delik pers, sementara menggunakan delik pidana pada kasus majalah TEMPO, keputusan telah diambil dan polemik telah mereda. Playboy, menang dan tetap melenggang.

Dengan mudah kita menjumpai peredaran majalah tersebut diperempatan-perempatan jalan yang konon, dinegara aslinya (Amerika Serikat) hanya dijual di counter-counter khusus dewassa. Rasanya pula, tidak sulit bagi anak-anak muda kita mengakses informasi yang terdapat dimajalah Playboy. Setidaknya, kalaupun benar bahwa Playboy Indonesia telah mengalami ”penyesuaian konten dengan norma sosial Indonesia”, image dan nalar yang terbentuk digenerasi muda kita kelak bahwa Playboy bukan barang ”haram”.

Menjadi tidak adil kalau kita hanya menyalahkan Playboy. Benar bahwa banyak majalah sejenis Playboy yang lebih syuur dan vulgar dijajakan ditempat yang sama dengan Playboy. Tapi patut diingat bahwa Playboy telah menjadi ”merek global” dan menjadi salah satu ikon internasional untuk majalah porno (bahasa halusnya ”majalah khusus dewasa”).

Penulis meyakini, proyek semacam Playboy bukanlah proyek jangka pendek. Setidaknya dalam 5-10 tahun kedepan, pandangan masyarakat mengenai ”pornografi dan pornoaksi” akan semakin bergeser kearah yang lebih liberal. Sebagai sebuah ”produk budaya”, Playboy tentu memiliki ”visi dan misi budaya” tertentu. Bila profil pemilik Playboy dapat merepresentasikan ”visi dan misi budaya” yang diusung Playboy, maka patut diduga bahwa ”visi dan misi budaya” yang dibawa majalah Playboy adalah ”visi dan misi budaya” hedonisme sex bebas.

Gambaran itu diperoleh penulis dari sebuah pemberitaan online yang menuliskan bahwa diulang tahunnya yang ke 81, Hugh Hefner sang empunya Playboy, meniduri gadis-gadis Playboy yang notabene bukan istrinya hingga 11 orang! (detikHot, Rabu, 14/03/2007) Diinformasikan pula bahwa Hugh yang telah 2 kali menikah dikabarkan akan menikah untuk ketigakalinya dengan salah satu gadis Playboy-nya yang masih berusia 27 tahun! (detikHot, Rabu, 20/03/2007)

Maka jangan heran kalau dalam 5-10 tahun kedepan kasus-kasus hedonisme sex bebas dalam masyarakat yang selama ini menjadi ”rahasia umum” seperti dituliskan Moammar Emka dalam bukunya ”Jakarta Undercover”, akan mengemuka dan menjadi hal yang biasa dan merata di nusantara. Suatu kerusakan moral yang luarrrrr biasa karena budaya malu pastinya telah menghilang, sepasti matahari terbenam diufuk barat... wallahu a’lam bisshawab!

Wassalam,
miyoeL@010607

Thursday, April 5, 2007

Richie Rich’s Indonesia dan Wacana Megapolitan


Richie Rich’s, siapa yang tidak kenal tokoh kartun fiktif “besutan” Hollywood ini. Dia digambarkan sesosok bocah lelaki yang sangat beruntung karena memiliki orang tua yang kaya raya. Apa hubungannya dengan Indonesia? Hubungannya sederhana, karena serial kartun Richie Rich’s pernah menjadi tayangan yang lumayan populer di era kejayaan televisi negara (TVRI). Bahkan ketika dibuat versi layar lebar, jumlah warga negara Indonesia yang membeli tiket untuk menonton rasanya cukup memberi pemasukan yang tidak kecil bagi produser-nya.

Siapakah Richie Rich’s ala Indonesia yang dimaksud dalam tulisan ini? Tidak lain dan tidak bukan, adalah departemen / lembaga negara “terkaya” dari sisi alokasi anggaran belanja pemerintah pusat untuk tahun anggaran 2007. Dari total*) Rp. 234.204.003.488.000 jumlah bagian anggaran kementerian negara / lembaga negara dalam RAPBN 2007, sekitar Rp. 140,59 triliun (60,02%), “dipegang” oleh 6 kementerian negara / lembaga negara. Keenamnya berdasarkan besaran nilai yang diperoleh (sama dengan atau diatas Rp. 10 triliun) adalah sebagai berikut:

1. Departemen Pendidikan Nasional Rp. 43,48 triliun,
2. Departemen Pertahanan Rp. 31,30 triliun,
3. Departemen Pekerjaan Umum Rp. 21,36 triliun,
4. Kepolisian Negara Rp. 18,69 triliun,
5. Departemen Kesehatan Rp. 15,05 triliun dan
6. Departemen Agama Rp. 10,77 triliun.
*) Sumber: Nota Keuangan dan APBN TA 2007 Republik Indonesia

Yang menarik bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta, memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007 yang tidak kalah fantastis jumlahnya dari anggaran kementrian / lembaga negara. Untuk APBD tahun 2007 yang mulai berlaku hari ini (03/04) besarnya ditetapkan sebesar Rp. 20,95 triliun (HU Republika 03/04/07). Itu artinya berada diatas anggaran Kepolisian Negara, Departemen Kesehatan dan Departemen Agama.

Berdasarkan besaran anggaran tersebut, “pantaslah” kalau kemudian muncul dan berkembang wacana pembentukan kawasan “megapolitan” dengan pejabat kepala daerah setingkat menteri / menteri negara. Kawasan tersebut setidaknya meliputi DKI Jakarta, sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat dan sebagian wilayah Provinsi Banten yang berbatasan langsung dengan DKI. Mungkin bila wacana megapolitan tersebut terwujud, menilik dari sisi anggaran pendapatan dan belanja-nya, kawasan megapolitan tersebut, tidak mustahil akan menjadi the riches province in Indonesia. Another Richie Rich’s ala Indonesia, mengerti? Wallahu a’lam!


Wassalam,
miyoeL @030407

Sunday, April 1, 2007

Dari Milis Tetangga

PERNYATAAN SIKAP ANGGOTA DPR-RI ATAS DUKUNGAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (DK-PBB)NO.1747 TENTANG Non-Proliferasi
Kami Anggota DPR-RI yang bertandatangan di bawah ini mengecam sikap dan posisi Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mendukung Resolusi DK-PBB No.1747 tanggal 24Maret 2007 tentang sanksi terhadap Republik Islam Iran (RII), dengan alasan sebagai berikut;
1. Pemerintah Indonesia telah gagal memanfaatkan DK-PBB dalam debutnya yang kedua dengan memberikan dukungan atas keluarnya resolusi yang sangat tidak adil dan sekadar didasarkan kepada dugaan belaka mengingat hingga saat ini tidak ada bukti nyata tentang program pengembangan senjata nuklir oleh RII.
2. Resolusi ini bersifat sepihak dan mengecualikan negara lain di kawasan Timur Tengah yang telah secara terang-terangan mengaku memiliki persenjataan nuklir seperti Israel.
3. Pernyataan dan tekanan negara-negara adidaya dibawah pengaruh Amerika Serikat telah mengambil keputusan yang menzalimi RII sebagai sebuah negara yang berdaulat dan memiliki hak untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir dimana RII menjadi negara anggota traktat tersebut.
4. Pemerintah Indonesia telah mendukung suatu resolusi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat 1 yang antara lain menjelaskan bahwa "setiap orang berhak mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia". Dalam hal ini, upaya RII dalam mengembangkan teknologi nuklir untuk pengembangan energi adalah sesuai dengan ayat ini.
5. Pemerintah Indonesia telah kehilangan kredibilitasnya di mata negara-negara Dunia Ketiga, dan mematahkan upayanya untuk menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Timur Tengah secara damai sehingga posisi Indonesia di dalam DK-PBB yang dianggap memperesentasikan negara Dunia Ketiga menjadi tidak berguna.
6. Disamping keberpihakan kepada Israel, resolusi ini juga berstandar ganda karena RII yang bersedia melakukan perundingan tanpa syarat untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut tidak diperlakukan sama seperti perlakuan terhadap Korea Utara yang justru telah menyatakan keberhasilan uji nuklirnya.
7. Sikap dan posisi Pemerintah Indonesia yang mendukung resolusi1747 tersebut tidak lepas dari sikap pemerintah Indonesia yang tunduk kepada tekanan kekuatan imperialis dunia dibawah Amerika Serikat dalam rangka memelihara rancangan besar strategi hegemoni mereka di Timur Tengah.
8. Pemerintah Indonesia harus sadar bahwa kedudukan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK-PBB membawa tanggung jawab besar dan terbuka bagi penilaian dunia atas kemandirian dan jati diri politik luar negeri Indonesia.
Demikian surat pernyataan sikap ini kami buat.
Jakarta, 26 Maret 2007
1. Abdillah Toha FPAN
2. Dr Yuddy Chrisnandi, ME FPG
3. R K Sembiring Meliala FPDI
4. Untung Wahono FPKS
5. Bachrum R Siregar FPBR
6. Dedi Djamaludin Malik FPAN
7. Usama Alhadar FPPP
8. Chudlary Syafi'i FPPP
9. Ali Mochtar Ngabalin FBPD
10.Sidharto Danusubroto FPDI
11.Effendy Choiry FPKB
12.Hajriyanto Y. Thohari FPG

Resolusi 1747, AdamAir dan Kemandirian Indonesia

Resolusi 1747, AdamAir dan Kemandirian Indonesia

Akhirnya, resolusi 1747 DK PBB yang berisi sanksi ekonomi atas Iran telah dijatuhkan. Sanksi yang disponsori oleh “5+1” anggota pemegang hak veto di badan dunia. Salah satu butir dalam sanksi tersebut adalah seruan untuk semua pemerintah dan institusi keuangan tak membuat komitmen baru atas bantuan keuangan atau pinjaman konsesi kepada pemerintah Iran. Sanksi tersebut memiliki dimensi yang sangat luas karena membatasi semua negara untuk mengadakan perjanjian keuangan dengan pemerintah Iran. Disisi lain, sanksi yang dijatuhkan kepada pemerintah Iran tersebut, tidak terbatas hanya pada masalah nuklir, namun semua hal yang terkait dengan pemerintah Iran. Betapa tidak adilnya sanksi tersebut.

Pemerintah Indonesia melalui duta besarnya di PBB turut terlibat dalam perilaku tidak adil tersebut. Karena sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia memberi suara “setuju” untuk dijatuhkannya sanksi tersebut. Apapun alasan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, pemerintah bertanggung jawab atas sanksi tersebut. Embel-embel bahwa pemerintah memasukkan referensi tak langsung dalam teks resolusi mengenai terciptanya kawasan bebas nuklir Timur Tengah, menjadi hambar. Indonesia bagai “anak bodoh yang sok pintar” dimata Amerika Serikat selaku sponsor utama sanksi tersebut.

Mungkin pemerintah Indonesia memang takut hubungannya dengan pemerintah Amerika dapat terganggu bila tidak mengikuti kehendak “ndoro tuan”. Ketakutan yang wajar karena pemerintah Amerika memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk kalangan bisnisnya. Pemerintah Amerika bisa menentukan dengan negara mana kalangan pengusaha dalam negerinya boleh berbisnis. Bila Indonesia dimasukkan dalam daftar “negative” untuk tujuan usaha, maka kalangan bisnis Amerika dipastikan akan ogah untuk berbisnis di Indonesia.

Ini dapat dimengerti karena ketergantungan pemerintah dan pengusaha dalam negeri terhadap produk dan jasa dari negeri “uwak sam” demikian tinggi. Sebut contoh industri transportasi udara. Berdasar hasil olah data dari beberapa situs penerbangan, tercatat bahwa pada trimester pertama tahun 2007 di Indonesia terdapat 260 pesawat jet berbagai merek dan jenis. Dari 260 pesawat, 214 pesawat tercatat aktif dan sisanya disimpan di gudang. Yang lebih mencengangkan, dari 214 pesawat yang aktif, 154 diantaranya keluarga Boeing seri 737. Sebagaimana diketahui, bahwa Boeing Corp., adalah pabrikan pembuat pesawat asal negaranya “uwak sam”. 64 pesawat dari 154 pesawat Boeing 737, berseri 200. Salah satu seri yang paling laris dan paling banyak dipergunakan berbagai maskapai penerbangan dunia. Namun demikian, seri ini sudah uzur karena rata-rata telah beroperasi lebih dari 20 tahun.

Artinya, industri transportasi udara di tanah air, membutuhkan peremajaan setidaknya sebanyak 64 unit pesawat jenis Boeing 737-200. Menilik pada “kemudahan”, baik kemudahan pendanaan, supply pasar, perawatan dan operasionalisasinya bukan tidak mungkin peremajaan tadi akan mengambil keluarga Boeing 737 lainnya. Artinya lagi, bahwa pemerintah dan kalangan pelaku usaha transportasi udara nasional membutuhkan “hubungan baik” dengan kalangan pendana maupun penyedia pesawat keluaran Boeing dari keluarga 737.

Itu baru dari satu sektor yang sedikit pemainnya, namun tinggi added value-nya dan strategis nilainya bagi kepentingan pembangunan nasional. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin tercipta kemandirian pemerintah terhadap kemauan pemerintah negara super power Amerika Serikat? Alah!

Wassalam,miyoeL @300307

Menjadi Blogger, batu loncatan menjadi Doktor?

Menjadi Blogger, batu loncatan menjadi Doktor?

Walah? Koq judulnya serem banget ya? Menjadi blogger sebagai batu loncatan untuk menjadi seorang doktor? Apa iya? Ada apa dengan seorang blogger dan doktor? Bukannya kalau mau jadi doktor kudu kuliah, ambil program doktor? Apa bisa blog mencetak doktor? Mungkin siy, maxutnya, dengan melakukan riset mengenai perilaku pengguna blog misalnya. Atau mengcreate teknologi terbaru untuk para blogger. Atau, melalui blog, melatih kemampuan menulis dengan runut dan menggunakan referensi-referensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Betul bahwa proses pendidikan doktor memang melalui jenjang perguruan tinggi penyelenggara program doktor. Jadi, pilih yang mana? Walah!

Wassalam,miyoeL @300307

Syarat S1 buat Presiden RI, “300” dan Republik Islam Iran; “piece a cake”

Syarat S1 buat Presiden RI, “300” dan Republik Islam Iran; “piece a cake”

Belum lama ini, jagad politik kita diramaikan dengan berita dimasukkannya syarat pendidikan minimal sarjana (S1) buat calon presiden dalam draft RUU Pemilihan Presiden versi Pemerintah (melalui Departemen Dalam Negeri). Beritanya cukup heboh untuk kemudian (akan) menghilang (khas Indonesia banged!). Terbukti, belakangan berita yang aktual di jagad politik nasional sudah berganti berita dengan issue laptop buat anggota DPR ama Interpelasi DPR atas keputusan Indonesia di DK PBB. Kembali ke laptop… eh, kembali ke topik syarat pendidikan minimal untuk calon Presiden.

Sebenernya, syarat itu ngga akan jadi ramai kalau salah seorang ketua umum sebuah partai besar yang masih berambisi menjadi presiden, pendidikannya juga sarjana. Masalahnya, sang bakal calon (presiden) memang pendidikannya bukan sarjana. Berkembanglah topiknya kemana-mana; jegal-menjegallah, presiden yang doktor juga peragulah, sampe masalah kualitas sarjana yang tidak menjamin kenegarawanan seseorang, bla-bla-bla, bla-bla-bla, segala macem. Padahal kalau mau gampang (bukan menggampangkan), kenapa sang bakal calon tidak mau kembali ke bangku kuliah? Toh, banyak jalan menuju bangku kuliah kok. Bisa ikut program kuliah untuk karyawan (sabtu-minggu atau sore hari), bisa juga ikut program kuliah jarak jauh dari Universitas Terbuka? Gampang khan? Sekali lagi bukan menggampangkan.

Esensinya disini, ada pada proses. Proses bagaimana menempuh suatu rangkaian kerja untuk menjadi seorang sarjana. Bukan sarjana instant yang cuma sekali dua kali dateng, trus diwisuda di hotel mewah. Bersikap disiplin dalam menjalani proses pendidikan tersebut menjadi tempat “berlatih” untuk disiplin ketika menjadi pemimpin. Mau mengikuti aturan yang dibuat oleh institusi tempat pendidikan diselenggarakan. Bukan hanya mau membuat aturan-aturan seenaknya sendiri. Semuanya berproses. Adakah batas waktu untuk mengikuti suatu proses? Untuk proses apa? Pendidikan? Rasanya tidak (ada batas waktunya).

Terlebih sebagai seorang “public figure”, bila sang bakal calon memilih katakanlah Universitas Terbuka, otomatis pamor UT (notabene milik negara) dapat meningkat. Apalagi bila sang bakal calon kemudian terpilih menjadi presiden. Bukan tidak mungkin akan semakin banyak anak bangsa yang termotivasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada akhirnya, bila semakin besar porsi penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi, selain meningkatkan angka indeks pembangunan manusia Indonesia, juga akan lebih mudah memberi pengertian-pengertian pada masyarakat untuk mau dibawa ke arah yang lebih baik lagi. Menjadi bangsa yang maju, karena penduduknya terdidik.

Yang juga menjadi berita hangat adalah release film Hollywood terbaru berjudul “300”. Menjadi hangat hingga mewarnai media nasional adalah karena film bertema fiksi ilmiah tersebut dinilai melukai perasaan bangsa Iran, keturunan langsung bangsa Persia. Bangsa yang dalam film tersebut digambarkan sangat menggemari kekerasan dan peperangan. Film yang menembus angka penjualan fantastis hingga mampu bertengger di jajaran film-film box office tersebut, dibuat sepenuhnya dengan teknologi digital terbaru. Teknologi yang dikenal dengan nama CGI (computer generated imagery). Menjadi menarik karena film keluaran Hollywood itu diyakini merupakan bagian dari perang urat syaraf antara pemerintah Amerika Serikat (diwakili Hollywood) dan pemerintah Iran, terkait dengan gencarnya upaya AS menggiring opini dunia bahwa program nuklir yang tengah dikembangkan oleh pemerintah Iran adalah ancaman internasional.

Lepas dari polemik politik perfilman tadi, sekali lagi kalau mau gampang (yang bukan menggampangkan); kenapa ngga bangsa Iran yang memang terkenal cukup maju perkembangan perfilmannya dikawasan Timur Tengah, “meluruskan” film tersebut dengan film juga. Akan sangat menarik bila sineas-sineas Iran, menggunakan teknologi yang sama dengan teknologi pembuatan film “300”. Tentu alur cerita dan tokoh-tokoh yang digambarkan dalam film debutan sineas Iran tersebut, sesuai dengan apa yang tertera dalam sejarah. Setidaknya yang tidak berat sebelah atau memutarbalikkan sejarah. Judulnya bisa aja dibikin, “300R” atau “Revised Edition from 300”.

Akhirnya, mungkin ngga ya kira-kira, teknologi digital tersebut digunakan untuk pendidikan di Indonesia? Supaya orang Indonesia bisa lebih maju lagi pendidikannya. Atau, malah perlu diadakannya pendidikan mengenai teknologi digital tadi di Indonesia? Alah!

Wassalam,miyoeL @300307

Akhirnya Jilid Kedua...

Akhirnya…

Akhirnya, gw ikutan juga komunitas blogger. Istilahnya goblog (bukan guoblog yang berarti bodoh alias te o el o el alias tolol). Kalo ngga, salah kata pertama gw di blog ini adalah “akhirnya…” dengan diiringi alesan ikutan nge-blog untuk promosi. Promosi apa aja, termasuk promosi diri kndiri (saat ini ditulis memang belum menikah). Atau promosi “buntut-buntut” yang ada. Buntut-buntut yang ada itu bisa macem-macem lho! Bisa berupa pemikiran, ide, kegiatan, atau mungkin usaha yang dimiliki. Harapannya, dengan networking tempat blog ini berada, lebih banyak orang bisa mencari atau menemukan apa yang termuat di blog ini. Itu harapan. Intinya, bahwa ikut-ikutan nge-blog bukan sekedar gaya, tapi ada suatu tujuan mulia (norak ya), setidaknya bisa sharing pemikiran dengan pembaca blog ini.. Semoga (lagi-lagi harapan) ada manfaat yang bisa diambil dari dunia maya ini.

Wassalam,
miyoeL @290307

Thursday, March 29, 2007

Akhirnya...

Akhirnya, bergabung juga di blog... Diary online jaman moderen. Nuangin ide atau pikiran atau sukur-sukur bisa buat promosi. Promosi apaan? Apa aja yang ada. Promosi diri kndiri atawa promosi "buntut-buntut" kita. Iya ngga coy?

Wassalam,
miyoeL