Sunday, June 3, 2007

Republik Porno 1


Dua bulan berlalu, sejak hakim PN Jakarta Selatan memvonis Erwin Arnada pemimpin redaksi majalah Playboy dengan putusan bebas. Dakwaan jaksa yang menuduh Erwin melakukan pelanggaran kesusilaan melalui penyiaran foto-foto yang dinilai sebagai pornografi dan menjadikan hal itu sebagai suatu pekerjaan, telah ditolak oleh majelis hakim.

Penolakan majelis hakim terhadap dakwaan jaksa membuat Erwin terbebas dari jeratan pidana dan Pemred Playboy bersyukur atas hal tersebut. "Disini terlihat majelis hakim memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kebebasan pers di Indonesia," kata Erwin yang sebelumnya dituntut pidana dua tahun penjara itu. (KCM 05 April 2007)

Lepas dari polemik yang berkembang mengenai ambiguitas hakim dalam memutus perkara yang menolak delik pidana yang diajukan jaksa bukan delik pers, sementara menggunakan delik pidana pada kasus majalah TEMPO, keputusan telah diambil dan polemik telah mereda. Playboy, menang dan tetap melenggang.

Dengan mudah kita menjumpai peredaran majalah tersebut diperempatan-perempatan jalan yang konon, dinegara aslinya (Amerika Serikat) hanya dijual di counter-counter khusus dewassa. Rasanya pula, tidak sulit bagi anak-anak muda kita mengakses informasi yang terdapat dimajalah Playboy. Setidaknya, kalaupun benar bahwa Playboy Indonesia telah mengalami ”penyesuaian konten dengan norma sosial Indonesia”, image dan nalar yang terbentuk digenerasi muda kita kelak bahwa Playboy bukan barang ”haram”.

Menjadi tidak adil kalau kita hanya menyalahkan Playboy. Benar bahwa banyak majalah sejenis Playboy yang lebih syuur dan vulgar dijajakan ditempat yang sama dengan Playboy. Tapi patut diingat bahwa Playboy telah menjadi ”merek global” dan menjadi salah satu ikon internasional untuk majalah porno (bahasa halusnya ”majalah khusus dewasa”).

Penulis meyakini, proyek semacam Playboy bukanlah proyek jangka pendek. Setidaknya dalam 5-10 tahun kedepan, pandangan masyarakat mengenai ”pornografi dan pornoaksi” akan semakin bergeser kearah yang lebih liberal. Sebagai sebuah ”produk budaya”, Playboy tentu memiliki ”visi dan misi budaya” tertentu. Bila profil pemilik Playboy dapat merepresentasikan ”visi dan misi budaya” yang diusung Playboy, maka patut diduga bahwa ”visi dan misi budaya” yang dibawa majalah Playboy adalah ”visi dan misi budaya” hedonisme sex bebas.

Gambaran itu diperoleh penulis dari sebuah pemberitaan online yang menuliskan bahwa diulang tahunnya yang ke 81, Hugh Hefner sang empunya Playboy, meniduri gadis-gadis Playboy yang notabene bukan istrinya hingga 11 orang! (detikHot, Rabu, 14/03/2007) Diinformasikan pula bahwa Hugh yang telah 2 kali menikah dikabarkan akan menikah untuk ketigakalinya dengan salah satu gadis Playboy-nya yang masih berusia 27 tahun! (detikHot, Rabu, 20/03/2007)

Maka jangan heran kalau dalam 5-10 tahun kedepan kasus-kasus hedonisme sex bebas dalam masyarakat yang selama ini menjadi ”rahasia umum” seperti dituliskan Moammar Emka dalam bukunya ”Jakarta Undercover”, akan mengemuka dan menjadi hal yang biasa dan merata di nusantara. Suatu kerusakan moral yang luarrrrr biasa karena budaya malu pastinya telah menghilang, sepasti matahari terbenam diufuk barat... wallahu a’lam bisshawab!

Wassalam,
miyoeL@010607

No comments: