Sunday, April 1, 2007

Resolusi 1747, AdamAir dan Kemandirian Indonesia

Resolusi 1747, AdamAir dan Kemandirian Indonesia

Akhirnya, resolusi 1747 DK PBB yang berisi sanksi ekonomi atas Iran telah dijatuhkan. Sanksi yang disponsori oleh “5+1” anggota pemegang hak veto di badan dunia. Salah satu butir dalam sanksi tersebut adalah seruan untuk semua pemerintah dan institusi keuangan tak membuat komitmen baru atas bantuan keuangan atau pinjaman konsesi kepada pemerintah Iran. Sanksi tersebut memiliki dimensi yang sangat luas karena membatasi semua negara untuk mengadakan perjanjian keuangan dengan pemerintah Iran. Disisi lain, sanksi yang dijatuhkan kepada pemerintah Iran tersebut, tidak terbatas hanya pada masalah nuklir, namun semua hal yang terkait dengan pemerintah Iran. Betapa tidak adilnya sanksi tersebut.

Pemerintah Indonesia melalui duta besarnya di PBB turut terlibat dalam perilaku tidak adil tersebut. Karena sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia memberi suara “setuju” untuk dijatuhkannya sanksi tersebut. Apapun alasan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, pemerintah bertanggung jawab atas sanksi tersebut. Embel-embel bahwa pemerintah memasukkan referensi tak langsung dalam teks resolusi mengenai terciptanya kawasan bebas nuklir Timur Tengah, menjadi hambar. Indonesia bagai “anak bodoh yang sok pintar” dimata Amerika Serikat selaku sponsor utama sanksi tersebut.

Mungkin pemerintah Indonesia memang takut hubungannya dengan pemerintah Amerika dapat terganggu bila tidak mengikuti kehendak “ndoro tuan”. Ketakutan yang wajar karena pemerintah Amerika memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk kalangan bisnisnya. Pemerintah Amerika bisa menentukan dengan negara mana kalangan pengusaha dalam negerinya boleh berbisnis. Bila Indonesia dimasukkan dalam daftar “negative” untuk tujuan usaha, maka kalangan bisnis Amerika dipastikan akan ogah untuk berbisnis di Indonesia.

Ini dapat dimengerti karena ketergantungan pemerintah dan pengusaha dalam negeri terhadap produk dan jasa dari negeri “uwak sam” demikian tinggi. Sebut contoh industri transportasi udara. Berdasar hasil olah data dari beberapa situs penerbangan, tercatat bahwa pada trimester pertama tahun 2007 di Indonesia terdapat 260 pesawat jet berbagai merek dan jenis. Dari 260 pesawat, 214 pesawat tercatat aktif dan sisanya disimpan di gudang. Yang lebih mencengangkan, dari 214 pesawat yang aktif, 154 diantaranya keluarga Boeing seri 737. Sebagaimana diketahui, bahwa Boeing Corp., adalah pabrikan pembuat pesawat asal negaranya “uwak sam”. 64 pesawat dari 154 pesawat Boeing 737, berseri 200. Salah satu seri yang paling laris dan paling banyak dipergunakan berbagai maskapai penerbangan dunia. Namun demikian, seri ini sudah uzur karena rata-rata telah beroperasi lebih dari 20 tahun.

Artinya, industri transportasi udara di tanah air, membutuhkan peremajaan setidaknya sebanyak 64 unit pesawat jenis Boeing 737-200. Menilik pada “kemudahan”, baik kemudahan pendanaan, supply pasar, perawatan dan operasionalisasinya bukan tidak mungkin peremajaan tadi akan mengambil keluarga Boeing 737 lainnya. Artinya lagi, bahwa pemerintah dan kalangan pelaku usaha transportasi udara nasional membutuhkan “hubungan baik” dengan kalangan pendana maupun penyedia pesawat keluaran Boeing dari keluarga 737.

Itu baru dari satu sektor yang sedikit pemainnya, namun tinggi added value-nya dan strategis nilainya bagi kepentingan pembangunan nasional. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin tercipta kemandirian pemerintah terhadap kemauan pemerintah negara super power Amerika Serikat? Alah!

Wassalam,miyoeL @300307

No comments: