Sunday, April 1, 2007

Syarat S1 buat Presiden RI, “300” dan Republik Islam Iran; “piece a cake”

Syarat S1 buat Presiden RI, “300” dan Republik Islam Iran; “piece a cake”

Belum lama ini, jagad politik kita diramaikan dengan berita dimasukkannya syarat pendidikan minimal sarjana (S1) buat calon presiden dalam draft RUU Pemilihan Presiden versi Pemerintah (melalui Departemen Dalam Negeri). Beritanya cukup heboh untuk kemudian (akan) menghilang (khas Indonesia banged!). Terbukti, belakangan berita yang aktual di jagad politik nasional sudah berganti berita dengan issue laptop buat anggota DPR ama Interpelasi DPR atas keputusan Indonesia di DK PBB. Kembali ke laptop… eh, kembali ke topik syarat pendidikan minimal untuk calon Presiden.

Sebenernya, syarat itu ngga akan jadi ramai kalau salah seorang ketua umum sebuah partai besar yang masih berambisi menjadi presiden, pendidikannya juga sarjana. Masalahnya, sang bakal calon (presiden) memang pendidikannya bukan sarjana. Berkembanglah topiknya kemana-mana; jegal-menjegallah, presiden yang doktor juga peragulah, sampe masalah kualitas sarjana yang tidak menjamin kenegarawanan seseorang, bla-bla-bla, bla-bla-bla, segala macem. Padahal kalau mau gampang (bukan menggampangkan), kenapa sang bakal calon tidak mau kembali ke bangku kuliah? Toh, banyak jalan menuju bangku kuliah kok. Bisa ikut program kuliah untuk karyawan (sabtu-minggu atau sore hari), bisa juga ikut program kuliah jarak jauh dari Universitas Terbuka? Gampang khan? Sekali lagi bukan menggampangkan.

Esensinya disini, ada pada proses. Proses bagaimana menempuh suatu rangkaian kerja untuk menjadi seorang sarjana. Bukan sarjana instant yang cuma sekali dua kali dateng, trus diwisuda di hotel mewah. Bersikap disiplin dalam menjalani proses pendidikan tersebut menjadi tempat “berlatih” untuk disiplin ketika menjadi pemimpin. Mau mengikuti aturan yang dibuat oleh institusi tempat pendidikan diselenggarakan. Bukan hanya mau membuat aturan-aturan seenaknya sendiri. Semuanya berproses. Adakah batas waktu untuk mengikuti suatu proses? Untuk proses apa? Pendidikan? Rasanya tidak (ada batas waktunya).

Terlebih sebagai seorang “public figure”, bila sang bakal calon memilih katakanlah Universitas Terbuka, otomatis pamor UT (notabene milik negara) dapat meningkat. Apalagi bila sang bakal calon kemudian terpilih menjadi presiden. Bukan tidak mungkin akan semakin banyak anak bangsa yang termotivasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada akhirnya, bila semakin besar porsi penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi, selain meningkatkan angka indeks pembangunan manusia Indonesia, juga akan lebih mudah memberi pengertian-pengertian pada masyarakat untuk mau dibawa ke arah yang lebih baik lagi. Menjadi bangsa yang maju, karena penduduknya terdidik.

Yang juga menjadi berita hangat adalah release film Hollywood terbaru berjudul “300”. Menjadi hangat hingga mewarnai media nasional adalah karena film bertema fiksi ilmiah tersebut dinilai melukai perasaan bangsa Iran, keturunan langsung bangsa Persia. Bangsa yang dalam film tersebut digambarkan sangat menggemari kekerasan dan peperangan. Film yang menembus angka penjualan fantastis hingga mampu bertengger di jajaran film-film box office tersebut, dibuat sepenuhnya dengan teknologi digital terbaru. Teknologi yang dikenal dengan nama CGI (computer generated imagery). Menjadi menarik karena film keluaran Hollywood itu diyakini merupakan bagian dari perang urat syaraf antara pemerintah Amerika Serikat (diwakili Hollywood) dan pemerintah Iran, terkait dengan gencarnya upaya AS menggiring opini dunia bahwa program nuklir yang tengah dikembangkan oleh pemerintah Iran adalah ancaman internasional.

Lepas dari polemik politik perfilman tadi, sekali lagi kalau mau gampang (yang bukan menggampangkan); kenapa ngga bangsa Iran yang memang terkenal cukup maju perkembangan perfilmannya dikawasan Timur Tengah, “meluruskan” film tersebut dengan film juga. Akan sangat menarik bila sineas-sineas Iran, menggunakan teknologi yang sama dengan teknologi pembuatan film “300”. Tentu alur cerita dan tokoh-tokoh yang digambarkan dalam film debutan sineas Iran tersebut, sesuai dengan apa yang tertera dalam sejarah. Setidaknya yang tidak berat sebelah atau memutarbalikkan sejarah. Judulnya bisa aja dibikin, “300R” atau “Revised Edition from 300”.

Akhirnya, mungkin ngga ya kira-kira, teknologi digital tersebut digunakan untuk pendidikan di Indonesia? Supaya orang Indonesia bisa lebih maju lagi pendidikannya. Atau, malah perlu diadakannya pendidikan mengenai teknologi digital tadi di Indonesia? Alah!

Wassalam,miyoeL @300307

No comments: